Kontroversi terhadap eksistensi rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) masih terus berlanjut. Sidang lanjutan permohonan uji materi terhadap Pasal 50 Ayat 3 UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) digelar pada hari Selasa (6/3/2012), dengan menghadirkan Dirjen Pendidikan Dasar Suyanto yang mewakili pihak pemerintah.
Dalam keterangannya, Suyanto menyatakan bahwa tak ada diskriminasi dalam pelaksanaan RSBI. Sekolah itu memang khususnya bagi siswa dengan kemampuan di atas rata-rata nasional. Selain itu, kata dia, RSBI juga diselenggarakan untuk mencetak lulusan-lulusan yang melampaui standar nasional pendidikan.
Menanggapi keterangan pihak pemerintah, pengamat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Liberalisasi Pendidikan, Lody Paat, menilai, konsep RSBI membingungkan. Menurutnya, penyelenggaraan RSBI tidak sesuai dengan aturan yang menjadi acuan.
Dengan tegas, Lody menolak alasan pemerintah menggunakan negara OECD (forum 34 negara kaya di zona Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang) sebagai acuan penyelenggaraan RSBI. Baginya, hal itu hanya mengacaukan standar pendidikan nasional.
"Kita itu berbeda, enggak bisa mengacu pada OECD," kata Lody, seusai menghadiri sidang judicial review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (6/3/2012).
Selain itu, akses RSBI juga dinilainya tidak berkeadilan karena cenderung "dihuni" siswa yang berasal dari kelas ekonomi menengah atas. Aturan minimal 20 persen untuk siswa miskin belum dipenuhi oleh banyak sekolah.
"Kenapa memfasilitasi orang yang secara kemampuan sudah mampu, mengkhususkan (kepada) yang punya uang? Konsep mereka membingungkan" kata Lody.
Penyelenggaraan RSBI dinilai memicu kastanisasi dan dualisme pendidikan.
Sementara itu, aktivis ICW yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Liberalisasi Pendidikan, Febri Hendri, menuding bahwa pemerintah telah melakukan liberalisasi pendidikan dengan penyelenggaraan RSBI. Alasannya, langkah ini dinilai tidak mengedepankan asas berkeadilan.
Menurutnya, pemerintah ingin membentuk opini masyarakat melalui penyelenggaraan RSBI. Langkah itu, kata Febri, merupakan cermin enggannya pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis, khususnya bagi masyarakat miskin.
"Berusaha membangun opini kalau pendidikan bermutu itu harus mahal," kata Febri.
Menurutnya, itu terjadi karena pemerintah terlalu khawatir anggaran pendidikan dapat sangat membebani APBN dan berimbas pada sulitnya negara dalam melunasi utang luar negeri.
Tuntutan yang diajukan adalah penghapusan pasal yang menyebutkan mengenai penyelenggaraan RSBI. Sidang uji materi masih terus bergulir. Pada dua pekan mendatang, agenda sidang akan mendengarkan keterangan saksi ahli dan pihak pemohon.
Dalam keterangannya, Suyanto menyatakan bahwa tak ada diskriminasi dalam pelaksanaan RSBI. Sekolah itu memang khususnya bagi siswa dengan kemampuan di atas rata-rata nasional. Selain itu, kata dia, RSBI juga diselenggarakan untuk mencetak lulusan-lulusan yang melampaui standar nasional pendidikan.
Menanggapi keterangan pihak pemerintah, pengamat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Liberalisasi Pendidikan, Lody Paat, menilai, konsep RSBI membingungkan. Menurutnya, penyelenggaraan RSBI tidak sesuai dengan aturan yang menjadi acuan.
Dengan tegas, Lody menolak alasan pemerintah menggunakan negara OECD (forum 34 negara kaya di zona Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang) sebagai acuan penyelenggaraan RSBI. Baginya, hal itu hanya mengacaukan standar pendidikan nasional.
"Kita itu berbeda, enggak bisa mengacu pada OECD," kata Lody, seusai menghadiri sidang judicial review Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (6/3/2012).
Selain itu, akses RSBI juga dinilainya tidak berkeadilan karena cenderung "dihuni" siswa yang berasal dari kelas ekonomi menengah atas. Aturan minimal 20 persen untuk siswa miskin belum dipenuhi oleh banyak sekolah.
"Kenapa memfasilitasi orang yang secara kemampuan sudah mampu, mengkhususkan (kepada) yang punya uang? Konsep mereka membingungkan" kata Lody.
Penyelenggaraan RSBI dinilai memicu kastanisasi dan dualisme pendidikan.
Sementara itu, aktivis ICW yang juga tergabung dalam Koalisi Masyarakat Anti Liberalisasi Pendidikan, Febri Hendri, menuding bahwa pemerintah telah melakukan liberalisasi pendidikan dengan penyelenggaraan RSBI. Alasannya, langkah ini dinilai tidak mengedepankan asas berkeadilan.
Menurutnya, pemerintah ingin membentuk opini masyarakat melalui penyelenggaraan RSBI. Langkah itu, kata Febri, merupakan cermin enggannya pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis, khususnya bagi masyarakat miskin.
"Berusaha membangun opini kalau pendidikan bermutu itu harus mahal," kata Febri.
Menurutnya, itu terjadi karena pemerintah terlalu khawatir anggaran pendidikan dapat sangat membebani APBN dan berimbas pada sulitnya negara dalam melunasi utang luar negeri.
Tuntutan yang diajukan adalah penghapusan pasal yang menyebutkan mengenai penyelenggaraan RSBI. Sidang uji materi masih terus bergulir. Pada dua pekan mendatang, agenda sidang akan mendengarkan keterangan saksi ahli dan pihak pemohon.
Diambil penuh dari Kompas.com
0 komentar:
Posting Komentar